Minggu, 21 November 2010

Kematian Ibu Bayu

Memang tak ada yang bisa menyangkal, tetesan cairan warna merah dalam tubuh manusia, adalah inti kehidupan. Tanpa cairan yang akrab dengan sebutan darah ini, sel-sel manusia tidak bisa bernapas dan memperoleh makanan. Di dalam tubuh, darah juga akan memberi kehangatan, mendinginkan, dan melindungi tubuh dari zat-zat beracun. Selain itu, darah juga nyaris bertanggung jawab penuh atas komunikasi di dalam tubuh manusia. Pendek kata, tanpa cairan ini tak akan ada kehidupan.
Tapi ada satu hal penting yang harus diingat. Semua fungsi urgen itu tak akan bisa dicapai tanpa adanya suatu sistem transportasi nan apik. Dan Sang Maha Pencipta telah mengatur sistem sirkulasi dalam tubuh kita dengan begitu sempurna. Meski rumit, tak ada cacat sama sekali. Sistem ini kemudian dikenal sebagai sistem vaskular.
Ibn Nafis pada 1242 untuk pertama kalinya berhasil menjelaskan secara akurat bagaimana sistem vaskular ini bekerja. Dilanjutkan oleh Michael Servetus pada 1552 dan Realdo Colombo pada tahun yang sama. Hingga akhirnya, William Harvey melakukan suatu rangkaian percobaan dan mengumumkan penemuannya tentang sistem sirkulasi manusia pada 1628.
Sebenarnya, sistem vaskular merupakan bagian dari sistem sirkulasi manusia. Sistem ini dibangun oleh sambungan atau networking dari pipa-pipa yang dikenal dengan pembuluh darah. Berdasarkan fungsinya, pembuluh darah terbagi atas 3 tipe yakni, arteri, vena, dan kapiler. Arteri mengangkut darah ‘bersih’ yang kaya oksigen dan nutrisi dari jantung untuk disebarluaskan ke seluruh tubuh. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka arteri bersifat fleksibel dan kuat, agar bisa mengembang dan mengerut saat menerima dan mengosongkan darah.
Berbeda dengan arteri, pembuluh darah vena justru mengangkut darah ‘kotor’ yang kaya dengan sisa metabolisme, sampah, toksin, dan senyawa merugikan lainnya dari seluruh tubuh untuk dibersihkan di jantung. Sesuai pula dengan tugasnya itu, maka vena bersifat kurang aktif dan kurang elastis ketimbang arteri. Vena memiliki katup yang membuka untuk membiarkan darah masuk dan menutup untuk mencegah darah menggenang di kaki dan bagian lain, akibat gaya tarik gravitasi. Sedangkan kapiler yang ukurannya sangat kecil, berfungsi untuk pertukaran darah dan sel tubuh.
Segala hal yang terjadi dalam darah dan pembuluh darah benar-benar rumit dan saling berkaitan. Gangguan terkecil pun pada sistem sirkulasi ini bisa menimbulkan masalah kesehatan yang sangat serius. Layaknya di jalan tol, jika terjadi kecelakaan, maka arus kendaraan yang tadinya lancar, tentu akan mendadak macet. Demikian juga dengan pembuluh darah. Jika alirah darah mampet, juga akan bisa berakibat ‘macet’nya hidup manusia alias menemui ajalnya.
Selama ini, penyakit akibat kelainan vaskular yang lebih sering dibidik dan disebut-sebut, adalah yang terjadi karena penyempitan pembuluh darah. Sebut saja stroke dan serangan jantung. Keduanya sangatlah ditakuti karena mengancam kematian. Padahal, penyakit yang terjadi akibat pelebaran pembuluh juga tak kalah seramnya. Misalnya saja, aneurisma aorta. Saking seramnya, penyakit ini mendapat julukan sebagai ‘silent killer’. Pasalnya, aneurisma aorta jarang ‘menampakkan’ kehadirannya melalui tanda dan gejala. Penyakit ini baru menimbulkan keluhan pada penderitanya, bila telah terjadi ruptur atau kondisinya telah parah. Alhasil, banyak nyawa yang tak terselamatkan. (baca juga : Pelebaran yang Penuh ‘Arti’).
Pada prinsipnya, aneurisma merupakan bagian pembuluh darah yang melebar dan mengalami pelemahan pada dindingnya. Aneurisma ini berpotensi mengalami ruptur bila tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, pemberian antihipertensi dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya ruptur. Hal ini dibuktiin dengan penelitian teranyar yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet edisi 19 Agustus 2006. Menurut studi yang dikomandoi oleh Dr. Daniel G. Hackam, dari Sunnybrook Health Sciences Centre, Toronto, pemberian ACE inhibitor bisa mengurangi risiko ruptur hingga 18% pada pasien abdominal aortic aneurysm (AAA). Temuan ini mempertegas hasil penelitian sebelumnya pada hewan percobaan. Selain itu juga dicapai kesimpulan bahwa hanya ACE inhibitor yang memperlihatkan efek protektif yang nyata, tidak antihipertensi lainnya.
Satu lagi gangguan vaskular yang terjadi akibat pelebaran pembuluh darah adalah hemoroid. Beda dengan aneurisma aorta, penyakit yang dikenal dengan wasir ini justru sangat sering dijumpai. Namun, penderita kerap kali mengabaikannya karena dianggap ’tidak mematikan’ dan bisa sembuh dengan sendirinnya. Padahal, benjolan pada anus serta rasa sakit akibat hemoroid bisa mengurangi produktivitas dan kualitas hidup seseorang.

1. Sindrom HELLP dengan perburukan
Sindrom HELLP merupakan sing¬kat¬an dari Hemolysis, Elevated Liver function, dan Low Platelet count. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia de¬ngan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus per¬abdominam. Patogenesis sindrom HELLP masih belum jelas. Diagnosis dini sangat penting ditegakkan karena morbiditas dan mortalitas penyakit ini tergolong tinggi, sekitar 25 persen. Kadar trom¬bosit yang rendah menjadi indikator yang sensitif dalam penegakan diagnosis sindrom HELLP. Uji D-dimer bisa menjadi alat identifikasi yang penting untuk me¬nunjukkan tanda awal sindrom HELLP pa¬da pasien preeklamsia. Terapi untuk pa¬sien sindrom HELLP merupakan manajemen su¬portif meliputi profilaksis kejang (eklampsia) dan kontol tekanan darah pa¬da pa¬sien dengan hipertensi. Pasien dengan ke¬hamilan preterm dilakukan terapi konservatif, sedangkan pasien aterm me¬ru¬pakan indikasi untuk terminasi. Be¬be¬rapa pasien memerlukan transfusi produk da¬rah, sebagian lagi sangat responsif de¬ngan terapi kortikosteroid.

2. Hipertensi sejak hamil pertama
Seorang wanita hamil berusia 27 ta¬hun (G2P1A0) mengeluh sesak napas satu hari sebelum ke Rumah Sakit Umum (RSU). Saat itu ia mengeluh nyeri ulu hati, namun kaki tidak bengkak, tidak nyeri ke¬pala, pandangan tidak kabur, tidak keluar lendir atau darah, tidak mual, dan tidak muntah. Diduga ia telah diduga menderita sindrom HELLP oleh dokter kandungan setempat namun karena keterbatasan alat pemeriksaan, ia dirujuk ke Rumah Sa¬kit Umum Pusat Nasional (RSUPN) de¬ngan diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD) dari hasil USG. Di sana ia telah mendapat terapi asam traneksamat, deksametaon, ceftriaxone, digoksin, aspirin, dan regimen antihipertensi.
Karyawan pabrik yang sehari-hari bekerja di kawasan industri ini tengah hamil 25-26 minggu dan sejak awal kehamilan sang ibu sudah dinyatakan menderita ‘da¬rah tinggi’ oleh dokter yang memeriksa¬kan perawatan antenatal. Tekanan darahnya saat ini berkisar 130/90 mmHg (su¬dah mengkonsumsi obat antihipertensi). Hari pertama haid terakhirnya sesuai de¬ngan perkiraan usia kehamilan melalui USG. Ia juga telah memiliki riwayat hi¬per¬tensi pada kehamilannya yang pertama.

3. Janin telah mati
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tampak pu¬cat namun tidak sesak, tekanan darah 180/110 mmHg dan suhu 36.50C. Ter¬dengar bunyi jantung gallop (S4), perut mem¬buncit esuai kehamilan, dan ekstre¬mi¬tas yang tidak edema. Pemeriksaan obs¬tetri menunjukkan tinggi fundus uteri 15 cm, vulva dan uretra tenang, porsio licin, merah, tidak ada fluor albus dan fluxus. Porsio kenyal ke arah belakang de¬ngan panjang 2 cm, kepala pada H1, dan protein stick menunjukkan angka +2. Pemeriksaan USG menunjukkan presen¬ta¬si janin kepala tunggal tanpa ada de¬nyut jantung janin dan telah terdapat spalding sign. Di RSUPN ia didiagnosis ulang sebagai sindrom HELLP akibat pre¬eklamsia berat (PEB).
Saat itu juga ia direncanakan untuk cek darah perifer lengkap (DPL), urinalisis lengkap (UL), gula darah sewaktu (GDS), enzim transaminase (SGOT/SGPT), dan laktat dehidrogenase (LDH) ulang. Dicek pula elektrokardiografi (EKG), asam urat, ureum, kreatinin, albumin, elektrolit, fibri-nogen, dan d-dimer. Perawatannya terpa¬du antara dokter obstetri ginekologi de¬ngan konsultasi dokter kardiologi dan dok¬ter mata.
Rencana terapi yang utama ialah ter¬mi¬nasi pervaginam untuk menghentikan hipertensi dengan perangsang misoprostol (4x50 mg) dengan folley cathether. Se¬la¬lu dilakukan pengawawan tanda vital dan tanda-tanda perburukan. Kepalanya diele¬va¬si 300 dan dimasukkan bolus MgSO4 4 gram dilanjutkan drip 1 gr/jam dalam 24 jam. Obat yang dipakai ialah ISDN 3x10 mg (dosis maksimal 80 mg) dengan selalu dilakukan pengawasan te¬kanan darah ditambah vitamin C seba-nyak 2x400 mg perhari. Deksametason te¬tap diberikan 10 mg dua kali sehari, serta pemberian antibiotik Amoxicillin 3x500 mg.
Usai dicek, erdapat penurunan hematokrit, leukositosis, trombositopenia, ser¬ta kadar fibrinogen dan D-dimer yang tinggi. Hasil tes urin menunjukkan sedimen leukosit, eritrosit, proteinuria, dan hemoglobinuria. Hasil tes fungsi hati menun¬juk¬¬kan peningkatan signifikan (SGOT, SGPT, dan LDH) disertai hipoalbuminemia. Hemoglobin makin hari makin turun (8,2 g/mL). Leukositosis tetap terdeteksi dalam nilai 24.000/mm3. Trombosit terakhir 136.000/mm3. Hasil uji D-dimer me¬ningkat tinggi (5,3), fibrinogen juga meningkat (642).
Setelah mengalami persalinan atas in¬duksi oksitoksin secara spontan, keluar ja¬nin mati (IUFD) namun etelah itu te¬kanan darah masih tidak terkontrol (160/100 mmHg). Setelah ditransfusi PRC pun konjungtiva masih pucat, akral dingin, dan masih ditemukan beberapa purpura pada ekstremitas.

4. Vasospasme kapiler paru
Wanita yang akhirnya berstatus P2A1 ini sudah mengalami kali kedua pre¬eklamsia. Pada kehamilan yang pertama bayi dapat dilahirkan spontan cukup bu¬lan. Namun ka¬¬li kedua preeklamsia terjadi ketika usia ke¬hamilan masih 24-25 ming¬gu serta te¬lah terdeteksi janin mati da-lam kandungan dengan pemeriksaan de¬nyut jantung janin dan USG. Dengan de¬mikian dilakukan terminasi pervaginam dengan induksi pros¬ta¬glandin-folley ka¬teter dua hari SMRS di¬barengi tata laksana kontrol tekanan da¬rah dan pencegahan kejang. Preeklamsia yang makin be¬rat terjadi pada kehamilan kedua masih tetap memungkinkan mes¬ki¬pun ber¬da¬sar¬kan epidemiologi pasien tergolong di atas kurva normal. Faktor risiko preeklamsia ia¬lah nullipara, gemelli, hamil dengan pa¬sangan baru, keturunan pre¬eklam¬sia da¬lam keluarga, serta berbagai penyakit me¬¬tabolik (DM, hipertensi, pe¬nya¬kit ginjal).
Datang dengan keluhan sesak napas, diduga akibat vasospasme kapiler paru. Ditatalaksana di RSU secara suportif dan sudah tidak sesak ketika dirujuk ke RSUPN. Di RSUPN diduga (masih) edema paru dan dipastikan dengan konsul kardiologi yang ternyata menunjukkan hasil tidak ada tanda-tanda gagal jantung kiri, meskipun pada saat itu tertulis di status IGD terdapat gallop pada auskultasi jantung. Sampai pemantauan terakhir masih terdengar murmur dan click sistolik yang menandakan masih adanya hipertensi.
5. Gejala sindrom HELLP makin jelas
Dari awal datang tidak mengeluh ada¬nya kelainan frekuensi BAK dan BAB. Na¬mun dikeluhkan warna urin menjadi lebih keruh, seperti air teh, dikonfirmasi de¬ngan hasil tes urin (cito) yang menunjuk¬kan sedimen eritrosit (14-16 LPB) serta hemoglobinuria 2+ disertai proteinuria 2+. Proteinuria positif disertai hipertensi, meskipun tidak terlihat edema difus, men-jadikan pasien ini menyandang status preeklamsia. Dengan tensi inisial 180/110 mmHg, berdasarkan klasifikasi standar preeklamsia tergolong kategori preeklamsia berat.
Hasil uji kimia darah saat itu menunjukkan kadar ureum yang sedikit me¬ning¬kat, peningkatan signifikan enzim hati yang dibarengi hipoalbuminemia. Seperti telah disebutkan, pasien tidak terlihat beng¬kak, kecuali pada regio pretibial. Asam urat masih dalam taraf normal, me¬nunjukkan fungsi filtrasi glomerolus pa¬sien belum terlalu terganggu.
Tidak ditemukan pandangan kabur pa¬da pasien dan telah dikonfirmasi dengan hasil konsul bagian Mata dengan hasil ti¬dak ditemukan papilledema. Ditambah de¬ngan pemeriksaan refleks fisiologis pa¬tella yang normal, menunjang tidak ditemukan kelainan neurologis sehingga me¬nun-jukkan tidak adanya eklampsia3.
Adanya petekia dan purpura pada pa¬sien menunjukkan efek preeklamsia telah menyebabkan koagulopati. Hasil darah pe¬rifer lengkap menunjukkan trombosit yang rendah (160.000/mm3). Tanda ini merupa¬kan petanda klinis signifikan un¬tuk kecurigaan sindrom HELLP dan thrombotic trombocytopenic purpura yang ke¬dua¬nya berbahaya bagi kehamilan. De¬ngan konfirmasi APTT yang dalam batas normal, sudah mampu menegakkan diagnosis perdarah¬an akibat murni rendahnya trombosit sebagai bagian dari sindrom HELLP. Ditambah dengan hasil pening¬kat¬an fungsi hati (trans¬aminase) meski be¬lum ditemui tan¬da hemolisis sudah mam¬pu menegakkan diagnosis sindrom HELLP dengan klasifi¬ka¬si parsial. selain itu, hemolisis memang merupakan petanda yang biasanya terakhir ditemukan pa¬da pasien sindrom HELLP sehingga dapat menunjukkan bah¬wa keadaan pasien be¬lum terlalu parah. Belakangan ditemui bah¬wa hemoglobin ma¬kin rendah, air seni pasien yang ber¬ubah warna seperti air teh, serta perdarahan yang makin ba-nyak, diduga akibat he¬mo¬lisis dan dapat di¬kategorikan sebagai sindrom HELLP total.

6. Perburukan penyakit
Saat datang pasien mengeluh nyeri ulu hati sebagai petanda kerusakan hati. Sebagai alat diagnostik lab, konfirmasi D-dimer kuantitatif dan kadar fibrinogen me¬nunjukkan nilai yang tinggi (D-dimer=1,8 Fibrinogen=869). Dengan demikian, da¬pat disimpulkan telah terjadi nekrosis he¬patoselular akibat vasospasme hepar. Leng¬kaplah penegakan diagnosis sindrom HELLP sebagai komplikasi pre¬eklam¬sia berdasarkan kriteria dasar he¬mo¬lisis, peningkatan aktivitas hati, trombosit yang rendah, serta tekanan darah yang tinggi.
Sebelum partus pasien telah menda¬pat terapi konservatif6 induksi secara me¬kanis dan kimiawi, antikejang pada 24 jam pertama, antioksidan Vit.C dan NAC (fluimucyl), antihipertensif, balans cairan dan kalori, kortikosteroid, dan antibiotik. Selain itu terapi yang paling penting ialah terminasi kehamilan.
Ternyata hingga dua hari pascapartus pasien tetap mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol (160/100 mmHg). Terapi antihipertensif terus dilanjutkan namun antioksidan telah dihentikan. Per¬da¬rahan makin banyak terjadi (spontan da¬ri gusi) hingga Hb mencapai nilai 8,2 µg/L dan diputuskan untuk transfusi PRC 180 cc. Perdarahan ini kemungkinan akibat pemakaian heparin mikrodrip sebagai bagian dari tata laksana Disseminated In¬travascular Coagulation (DIC) untuk men¬ce¬gah nekrosis hati. Kejadian perdarahan ini memang sering dilaporkan akibat dokter menggunakan heparin sebagai terapi pelebaran pembuluh darah. Meskipun he¬parin telah terbukti tidak memiliki efek yang signifikan untuk terapi preeklamsia7, namun tetap dipakai selama D-di-mer kuantitatif pasien terus di atas nilai normal. D-dimer yang meningkat menunjukkan masih adanya tanda DIC. Sejauh ini pasien masih ditatalaksana puerperial terkontrol hingga perdarahan berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar