Minggu, 21 November 2010

Indonesia Kekurangan Peneliti Maskulinitas

Pembahasan masalah gender selama ini kebanyakan selalu di arahkan kepada perempuan. Padahal, persoalan gender bermakna lebih dalam, yaitu membahas hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Dari masing-masing pihak, baik perempuan maupun laki-laki ini pun masih bisa diperdalam lagi.

“Tentu ada perbedaan pengkajian misalnya perempuan dewasa dengan gadis. Atau laki-laki muda dengan yang tua,” kata Sosiolog dari University of Sydney, Raewyn Connell, ketika berbicara pada The 2nd International Graduate Student Conference on Indonesia, Indonesia and The New Challenges: Multiculturalism, Identity and Self-Narration, di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (3/11/2010).

Meskipun masih banyak pembahasan masalah gender yang hanya fokus kepada perempuan, diakui Connel, di dunia sudah mulai terjadi pergeseran dan kemajuan penelitian masalah gender ini.

Dia mencontohkan, beberapa kasus yang terjadi di Jepang. Di Jepang, kaum laki-laki justru saat ini sudah banyak yang berusaha untuk mensejajarkan peran-perannya dengan kaum perempuan. Mereka juga ingin menggantikan beberapa peran yang selama ini banyak dilakukan perempuan seperti merawat anak hingga memasak.

“Sudah banyak kemajuan seperti yang terjadi di Jepang misalnya. Laki-laki di sana juga ingin berperan layaknya tugas yang selama ini banyak diemban kaum perempuan,” ujar Connell.

Dijelaskan Raewyn, dalam perkembangannya persoalan yang menyangkut kaum laki-laki (maskulinitas) terus berkembang. Hanya saja perkembangan pembahasan maskulinitas tidak secepat pembahasan tentang feminisme. Perubahan cara pikir (mindset) tentang maskulinitas lebih lambat dibanding feminisme. Di sini muncul konstruksi institusional (pemerintah/negara) yang berperan di dalamnya. Dia mencontohkan ketika masa kolonialisme laki-laki akan diwajibkan menjadi seorang militer.

“Konstruksi institusional ini misalnya pada masa kolonialisme. Dampaknya akan berbeda bagi kaum laki-laki di Iran, laki-laki di Peancis atau  Jepang misalnya,” tambah Connell.

Hampir senada dengan Connel, peneliti UGM Dr. Wening Udasasmoro, M.Hum., D.E.A., menyatakan, research (penelitian) tentang maskulinitas memang masih terbatas. Akibatnya, pakar atau ahli tentang maskulinitas di Indonesia tidak banyak.

Kondisi ini bisa menjadi peluang bagi peneliti atau mahasiswa untuk mengangkat topik penelitian tersebut. “Nanti sub-temanya bisa diangkat misalnya pada persoalan pendidikan, kesehatan, seksualitas,” kata Wening.

Selain Connel,hadir sebagai pembicara kunci pada konferensi dan seminar tersebut antara lain Michael Feener (National University of Singapore), pakar religius studies, Ariel Heryanto (Australia National University), pakar culture studies, serta Harry Aveling (La Trobe University). Acara yang melibatkan mahasiswa S-2 dan S-3 ini juga akan membahas sekitar 95 paper/tulisan mahasiswa dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Jepang, Jerman, Singapura, Australia, Filipina, AS, Bangladesh, hingga Myanmar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar