Minggu, 21 November 2010

Hukum Yang Menghargai Lingkungan

HUKUM lahir sebagai alat dalam melakukan sebuah humanisasi hidup. Di dalam konsep yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo, “Hukum haruslah dinamis dan inspiratif.” Karena hukum tidak boleh kaku, maka dia menyebutnya dengan dunia “hukum progresif”. Dalam zaman yang menuntut nilai-nilai modernitas, hukum sebaiknya mampu berkompromi dengan elemen-elemen alam dalam meramu sebuah kebijakan yang pro bumi.

Kedekatan hukum dengan lingkungan membuat sebuah konsep baku yang disebut “hukum lingkungan”. Hukum lingkungan diciptakan untuk melindungi tatanan bumi yang sudah mulai tergerus oleh koalisi kapitalisme dunia. Dunia pada masa kini sudah menampakan secara jelas unsur kerakusannya dalam mengeksploitasi Sumber Daya Alama (SDA) yang ada di setiap lorong dunia ini. Kapitalisme hadir untuk menjajah negara-negara berkembang yang memiliki potensi alam yang amat besar untuk kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan negara-negara maju.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 33 ayat 3 menyebutkan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dari pasal tersebut kita dapat mengkritisi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan “dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?” Terkadang kalimat tersebut kemudian disalahartikan menjadi “dimanfaatkan oleh negara untuk sebesar-besar kepentingan rakyat yang mampu membayarnya.” Banyak fakta yang menghantarkan kita pada suatu dugaan seperti kekayaan beberapa tokoh-tokoh politik nasional yang berasal dari pemanfaatan SDA di Indonesia.

Di lain hal, hukum yang menurut Immanuel Kant tidak dapat diartikan dan ditafsirkan karena terlalu sulit untuk menggambarkannnya memang memiliki tujuan untuk mengelola manusia secara baik. Dalam konteks baku kita dapat mengerti beberapa tujuan hukum dibentuk, antara lain untuk menciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Hukum dalam kaca mata lingkungan memang belum berpengaruh secara besar. Hal ini terbukti dalam Hukum Agraria yang belum dapat menciptakan penerjemahan yang holistik serta komprehensif dalam rangka menggerakan nilai-nilai green yang seharusnya hadir di tengah-tengah kita.

Eksploitasi yang berlebihan dalam lingkup SDA di Indonesia memang sudah menjadi sebuah tren yang sulit untuk diselesaikan. Banyak polisi lingkungan pun yang seharusnya bertugas melakukan penindakan terhadap oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, justru masuk ke dalam permainan oknum-oknum tersebut. Hal ini yang kemudian menurut alam, “hukum itu terpincang-pincang.” Gerakan untuk membangun tatanan nilai-nilai hukum yang lebih adil, bermanfaat, dan pasti memang membutuhkan kerja kolektif dan kerja cerdas para praktisi hukum di Indonesia. Political will pemerintah harus ditumbuhkan dengan alasan  nasionalisme dan internasionalisme. Penumbuhan harkat dan martabat bangsa melalui produk-produk hukum yang cemerlang adalah sebuah solusi di masa yang akan datang.

Hukum dan lingkungan diibaratkan sebagai dua sejoli yang sedang menjalin kasih. Hukum dan lingkungan akan membentuk sebuah tatanan keluarga yang harmonis dan dapat dinikmati oleh kalangan dan lapisan masyarakat mana pun. Dengan perumpamaan tersebut, maka hukum dituntut untuk terlahir menghargai lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar