Sabtu, 11 Desember 2010

Empati

Apa itu empati? Apakah empati dibutuhkan? Mengapa empati dibutuhkan dalam kehidupan kita? Apa saja ciri orang yang mampu berempati? Bagaimana cara melatih diri berempati? Ini adalah beberapa pertanyaan yang dapat digunakan mendekati pokok bahasan ini.
Seperti umumnya dipahami orang empati dimengerti sebagai kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Misalnya ikut merasa sedih melihat orang lain bersedih hati atau berbahagia bersama orang yang berhagia. Kecuali mungkin menghadapi orang yang marah. Tetapi sungguhkah empati terbatas pada rasa-perasaan? Apakah pengalaman berempati kita tidak dipermiskin bila empati dibatasi pada ikut merasakan perasaan orang lain saja?
Memang empati dari akar katanya empatheia (Yunani) berarti ikut merasakan, namun empati sendiri tidaklah sebatas rasa perasaan. Sebab pengalaman manusiawi kita yang ditandai dengan sebutan empati tersebut tidak terbatas pada perasaan saja. Empati juga membuat orang melibatkan diri. Empati membuat orang bertindak. Menurut saya empati adalah kemampuan kita mengetahui dan memahami bagaimana perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan tersebut[1].
  Kemampuan berempati seperti dimaksud pada definisi terakhir, dibangun di atas tiga dasar. Pertama adalahkesadaran diri.[2] Menurut Daniel Goleman semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita berempati. Ia memberikan salah satu contoh orang yang memiliki kesadaran diri yang teramat lemah, yakni  orang yang menderita penyakit aleksitimia[3]. Menurutnya orang yang menderita penyakit jenis ini, mengalami kesulitan untuk berempati karena mereka sendiri mengalami emosi mereka datar-datar saja. Mereka tidak mampu mengetahui, terutama tidak sanggup merumuskan ke dalam kata-kata apa yang mereka rasakan. Jika mereka sedih atau kesal, mereka hanya mengatakan mereka tidak enak. Ketidak-mampuan mereka untuk mengungkapkan emosi mereka membuat mereka seolah-olah tidak mempunyai perasaan. Bergaul dengan mereka adalah suatu yang membosankan. Mereka betul-betul ganjil, mirip makhluk asing, yang berasal dari dunia yang sama sekali lain, yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang dikuasai oleh perasaan. Mereka sendiri bingung dengan perasaan mereka. Dan karenanya mereka juga tidak mampu membaca isyarat emosional pada orang lain. Menurut Goleman hal ini disebabkan oleh cacat pada keterampilan dasar kecerdasan emosional mereka yaitu kesadaran diri – suatu kemampuan untuk merasakan saat emosi bergolak dalam diri kita.[4] Mereka tidak mampu mendeteksi diri mereka saat mereka sedih atau gembira, marah atau tenang. Itulah sebabnya mereka juga tidak mampu mengidentifikasi jenis-jenis emosi yang mereka alami. Keadaan ini membuat mereka tidak mampu berempati.
Dasar empati yang kedua terletak pada kemampuan orang untuk membaca pesan nonverbal orang lain. Sebagaimana kita ketahui emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, kebanyakan diungkapkan melalui isyarat, maka kemampuan untuk membaca pesan-pesan nonverbal seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, sikap diam, dan sebagainya adalah kuncinya. Kegagalan utama para penderita aleksitimia dalam menjalin relasi dengan orang lain sesungguhnya terletak pada ketidak-mampuan mereka membaca pesan-pesan nonverbal orang lain. Tidaklah mengherankan bahwa mereka akan kebingungan apabila orang lain mengungkapkan perasaan mereka kepadanya. Jadilah mereka tampak seperti makhluk yang tidak berperasaan. Sebab ungkapan emosi yang terjalin melalui kata dan tindakan orang lain, semisal, nada tegas, suara atau perubahan sikap tubuh, keheningan penuh makna, atau gemetarnya tubuh yang membawa isyarat, bagi mereka berlalu begitu saja tanpa reaksi emosi. Kegagalan untuk mendata perasaan orang lain ini menurut Goleman merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional dan cacat yang menyedihkan sebagai seorang manusia, berakar pada ketidak-mampuan mendeteksi emosi diri sendiri.
Dasar empati yang ketiga adalah kepekaan dan kepedulian  pada keadaan orang lain. Dasar ketiga ini sebenarnya berakar pada belas-kasih pada sesama. Sulit dibayangkan bagaimana kita dapat peka dan peduli kemudian terlibat sungguh-sungguh dalam pergulatan sesama  tanpa adanya belas-kasih kepada mereka. Belas-kasihlah yang mendorong orang secara suka rela mau terlibat dalam pergulatan orang lain, peka dan peduli pada kebutuhan mereka. Tidak adanya empati (baca: belas-kasih pada keadaan sesama) amat nyata terlihat pada para psikopat[5] kriminal, pemerkosa dan pemerkosa anak-anak serta para pecandu tindak kekerasan, terutama kekerasan dalam keluarga.
Jika orang yang tidak mampu berempati menjadi momok yang menakutkan dan menggali lubang kegagalan bagi diri mereka sendiri, orang yang memiliki keterampilan berempati justru lain. Mereka lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul dan lebih peka. Tidak mengherankan pula bahwa mereka umumnya sukses dalam hubungan asmara dan  dalam kehidupan sosial, meskipun IQ mereka biasa-biasa saja.[6]
Sampai di sini, mungkin Anda sudah mengetahui dengan jelas manfaat kehidupan yang dibingkai dengan tindakan empatik. Sekarang manfaat tersebut barangkali akan jauh dan sungguh-sungguh bermanfaat apabila diketahui bagaimana cara mendekatinya. Berikut ini ditawarkan salah satu cara. Mudah-mudahan cara ini dapat membantu Anda.
Pertama, melatih diri untuk sadar diri atau peka pada diri sendiri. Ini mungkin tampak begitu sederhana dan mudah melakukannya. Lagi pula hanya ditujukan untuk diri sendiri. Mungkin Anda berpikir: “Apa susahnya menyadari diri sendir?” Mungkin itu benar! Tetapi sering, bahkan teramat sering orang justru lebih sadar tentang keadaan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Makanya orang lebih gampang memberikan saran, nasehat atau petunjuk-petunjuk sejenis kepada orang lain daripada kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, orang kadang masih gagal menyadari tentang keadaan dirinya, meskipun keadaan itu persis berada di depan matanya, bukan?
Secara jujur saya sendiri masih lebih banyak jatuhnya daripada bangunnya soal melatih diri untuk sadar dan peka pada diri sendiri. Tetapi peduli amat dengan itu. Pokoknya saya mau terus melatih diri saya lebih peka. Karena kemauan itu, saya mengajari diri saya masuk dalam keheningan beberapa menit setiap hari. Melalui cara ini saya sendiri mengalami lebih peka pada diri sendiri dan juga lebih akrab dengannya. Entahlah! Mungkin Anda punya cara tersendiri. Harapan saya semoga Anda mau membagi cara Anda itu dengan sesama, antara lain kepada orang seperti saya ini. Bukankah dengan cara demikian Anda telah berempati?
Kedua, melatih diri memandang permasalahan dari sudut pandang orang lain. sebagaimana dikemukakan Goleman, cara ini dikembangkan oleh William Pithers (seorang psikolog penjara Vermont) dalam program penyembuhan kepada para pelaku kejahatan. Caranya: para pelaku kejahatan diminta membacakan kisah-kisah kejahatan yang amat kejam seperti kejahatan mereka sendiri, dikisahkan dari sudut pandang korban. Mereka juga menonton video korban-korban yang dengan terisak-isak menceritakan bagaimana rasanya disakiti. Mereka kemudian menulis tentang tindakan kejahatannya sendiri dari titik pandang korban, membayangkan apa yang dirasakan si korban. Hasilnya cukup memberi harapan. Separuh dari mereka tidak lagi melakukan kejahatan yang sama setelah mereka bebas.
Tidak ada maksud saya menganggap Anda juga penjahat sehingga saya menyodori Anda kasus ini. Tujuan saya adalah menunjukkan bahwa belajar memandang suatu persoalan dari sudut pandang orang yang mengalami persoalan tersebut akan memotivasi kita untuk berempati kepada orang yang bersangkutan.
Ketiga, melatih diri membaca pesan-pesan nonverbal dari orang lain. caranya: latihlah kepekaan Anda menangkap kecemasan dalam nada bicara seseorang, rasa terganggu dalam gerak-gerik yang cepat, Ketakutan atau kesedihan yang tampak pada wajah seseorang atau ekspresi wajah tanda tidak senang, sikap diam seseorang dan sebagainya. Goleman berujar demikian, “Seperti layaknya wahana pikiran rasional adalah kata-kata, wahana emosi adalah nonverbal. Sesungguhnya, bila kata-kata seseorang tidak cocok dengan nada bicara, gerak-gerik, atau saluran nonverbal  lainnya, kebenaran emosional terletak pada bagaimana ia mengatakan sesuatu bukannya pada apa yang dikatakannya.”[7]
Keempat, melatih diri terlibat dalam pergulatan orang lain. Ikut terlibat langsung dalam pergulatan seseorang menjadi tanda bahwa Anda sungguh punya empati. Maka cara sederhana untuk mengetahui apakah Anda cukup berempati atau tidak, dapat Anda ukur pada sejauh mana keterlibatan Anda pada pergulatan orang lain terutama orang-orang sekitar Anda.
          Mengakhiri pembahasan ini saya mau mengatakan kepada Anda, mengetahui saja empati, belumlah cukup. Lagipula sekedar mengetahui hal tersebut bukanlah suatu yang begitu sulit. Yang justru jauh lebih sukar adalah menjadikan semua itu bagian dari diri sendiri dalam kata dan tindakan. Artinya pengetahuan itu sungguh-sungguh menjadi sikap dan tindakan kita. Sebab bukankah tindakanlah yang banyak membentuk realitas? Maka sekali lagi latihlah diri Anda melakukannya. Jika Anda gagal, bangkitlah lagi, kecuali jika Anda gemar berkubang dalam kegagalan. Ingat diri dan hidup Anda adalah milik Anda. Dan Anda punya tanggung jawab padanya?













Daftar rujukan:

Brahma Kumaris. 2001. Meditasi dan Pengenalan Diri. Jakarta: Pustaka Delapratasa.

Goleman, Daniel. 2005, Emosional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

O’Donnell, Ken. 2001. Pathways to Higher Consciuosness. Sydney: Eternity Ink.

Palindangan, Linus K. 2007. “Memanfaatkan Potensi Pikiran”, Artes Liberalis, Vol. 2, No. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar